Jumat, 10 Oktober 2008

Hellboy II: The Golden Army

Mungkin untuk mendapatkan efek asli, Guillermo del Toro, sang sutradara, membuat adegan berkelahi si Hellboy di film Hellboy II: The golden Army secara ril tanpa bantuan komputer. Toh, hasilnya nggak kalah sama bikinan CGI kok.

Hal ini tentu aja membuat Ron Perlman, pemeran Hellboy, kelimpungan. Pasalnya kostum Hellboy yang dipake untuk syuting lumayan gede dan berat. Untuk dipake sambil berdiri diem aja udah nyusahin. Gimana kalo sambil ajrut-ajrutan. Untungnya, Ron punya pemeran pengganti, Max White.

Hasilnya, keringet pun berkucuran. Di sela-sela break syuting, Max White yang menggantikan Ron Perlman sibuk ngelap keringet berkat salah satu adegan berantemnya melawan salah satu musuh, Wink. Sementara itu Guillermo del Toro, sang sutradara, cuma bisa cengengesan ngeliat aktornya kebanjiran keringet. Tega!

Behind The Screen Laskar Pelangi

Filmnya udah bisa kamu liat di bioskop. Tapi foto-foto seru selama syuting di Belitong, cuma bisa kamu liat di sini!

syuting Laskar Pelangi di Pulau Belitong bulan Mei lalu. Siapa sangka, pulau yang kalah tenar oleh Bali dan Lombok ini ternyata punya keindahan alam yang nggak kalah oke.

hari syuting ke 30, dari total 37 hari syuting. Hai-Online kebagian menyaksikan syuting di pantai Tanjung Tinggi, Belitung. Setelah sebelumnya, Laskar Pelangi berpindah-pindah tempat Gandong, Manggar sampe akhirnya merapat ke Tanjung Tinggi.

Syuting hari itu, Minggu (29/6) berjalan seharian. Mulai dari pagi sampe tengah malam. Semua anggota Laskar Pelangi hadir, termasuk Ikal dewasa, Lukman Sardi dan bu Muslimah, Cut Mini, termasuk mas Riri Riza sang sutradara.

Wajar aja, syuting hari itu adalah salah satu bagian penting film ini. Sekadar bocoran, scene INI adalah scene di mana anak-anak ini dapet panggilan Laskar Pelangi.

Suana syutingnya? Sangat menyenangkan ditambah dengan pemandangan alam Tanjung Tinggi yang luar biasa kerennya. Penasaran?

Planet B-Boy: Breakdancing Across The World

Suka breakdance atau nggak, kamu akan sangat rugi kalo melewatkan film yang satu ini.

Siapa sih yang nggak kenal breakdance? Meskipun lahir di tengah budaya kaum kulit hitam di Amrik sana, tarian yang dulunya disebut B-Boying ini sekarang udah menyebar ke seluruh dunia. Fenomena inilah yang diangkat oleh sutradara Benson Lee dalam film dokumenter tentang breakdance, berjudul Planet B-Boy.

Dokumenter? Yup! Betul. Tapi jangan langsung mikir bahwa film ini bakal jadi datar ataupun membosankan. Sama sekali nggak! Ini bukan film dokumenter biasa yang isinya cuma narasi dan potongan-potongan gambar, tapi lebih mirip dengan bentuk reality show. Nggak cuma berhasil bikin penonton tegang, terharu, dan tertawa, koreografi dan aksi yang ditampilkan pun dijamin bisa bikin kamu terbengong-bengong kagum.

Planet B-Boy menyoroti kehidupan lima tim breakdance dari lima negara, dalam persiapan untuk mengikuti kompetisi Battle Of The Year 2005. Ini adalah kejuaraan breakdance terbesar di dunia, yang cuma memperebutkan hadiah uang yang jumlahnya nggak seberapa, tapi pemenangnya akan mendapat respek plus reputasi sebagai tim breakdance terbaik.

Kelima tim yang jadi objek film ini adalah Knucklehead Zoo dari Las Vegas, Ichigeki dari Jepang, Phase-T dari Perancis, Last for One dari Korea, dan tim juaran bertahan, Gamblerz yang juga berasal dari Korea. Yang membuat film ini menarik bukan cuma aksi-aksi breakdance-nya yang superdahsyat, tapi juga kehidupan personal dan hubungan masing-masing B-Boy (sebutan untuk penari breakdance) dengan keluarga dan teman-temannya.

Digambarkan juga gimana susahnya para B-Boy ini dalam mengejar mimpi di bidang breakdance. Hampir semua B-Boy mendedikasikan seluruh hidup mereka untuk menari, dan ini tentu aja ditentang oleh keluarga dan orang-orang terdekat mereka. Konflik yang terjadi di antara mereka, dan gimana cara mereka mengatasinya, bikin kita sadar bahwa breakdance lebih dari sekedar tarian, tapi juga budaya, mimpi, dan pilihan hidup.

Film yang memenangkan penghargaan di Sang Fransisco International Asian American Film Festival sebagai Best Documentary ini bisa kamu tonton di Blitz Megaplex terdekat. (lika)

FOTO-FOTO: MONDO PARADISO FILMS

Tri Mas Getir: Masih Kurang Nendang

Mengandalkan formula Tora Sudiro + lelucon jorok + komedi slapstick, film ini tetap kurang berhasil menghadirkan adegan dan dialog yang bisa memancing tawa.

Ide cerita film yang semula berjudul Menculik Dian Sastro ini sebenernya cukup fresh. Ciang Pek (Tora Sudiro), Sugeng (Indra Birowo), dan Ujang (Vincent Club 80s) adalah tiga sekawan anggota sebuah perguruan kung fu yang sama-sama bercita-cita untuk jadi aktor terkenal. Mereka bertiga juga ngefans berat sama Katrina (Titi Kamal), aktris yang sedang naik daun.

Suatu hari, tiga sahabat itu didatangi oleh seorang renternir bernama Munar Sapawi, yang menagih utang almarhum engkongnya Ciang Pek sebesar 200 juta. Kalo mereka nggak bisa membayar hutang itu pada waktu yang telah ditetapkan, perguruan kungfu milik Ciang Pek terpaksa harus disita.

Demi mendapatkan duit untuk menebus utang, mereka bertiga berencana untuk menculik Katrina dan meminta tebusan kepada produsernya, Star Joni (Robby Tumewu). Apesnya, karena nyulik dalam keadaan gelap, bukan Katrina yang berhasil mereka ciduk, tapi Fatimah (Cut Mini), mantan artis terkenal yang sekarang udah nggak laku lagi.

Sebagai sebuah film komedi, jokes yang ditampilkan sepertinya nggak cukup lucu. Banyak adegan yang sepertinya nggak penting dan berlebihan, belum lagi banyaknya sub-plot yang bikin cerita utama nggak fokus. Untungnya akting Cut Mini lumayan oke, dan penampilan Tino Saroenggalo sebagai Munar Sapawi juga cukup menghibur. (lika)

Sutradara: Rako Prijanto
Pemain: Tora Sudiro, Indra Birowo, Vincent Club 80s, Titi Kamal, Cut Mini
Produksi: Rapi Films

FOTO: RAPI FILMS